BANDARLAMPUNG, RUANGBERITA.CO.ID-Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di era digital berpengarauh terhadap perubahan aspek kehidupan yang cukup signifikan. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah cara masyarakat mengakses dan menggunakan layanan keuangan. Senin (11 November 2024)
Dampak dari perkembangan teknologi tersebut salah satu diantaranya adalah semakin maraknya inovasi baru yang ditawarkan oleh indrusti keuangan, yakni Financial Technology (fintech). Salah satu jenis fintech yang paling awal berkembang di Indonesia adalah P2P Lending ( Peer-to-Peer Lending) atau lebih akrab di sapa pinjol (pinjaman online), yang berada di bawah pengasawan Otoritas Jasa Keuangan.
Merebaknya pinjol di kalangan masyarakat dengan cepat karena dapat memungkinkan pemberian pinjaman kepada siapapun dengan syarat yang jauh lebih mudah dibandingkan bank dan proses yang sederhana melalui aplikasi. Semakin melesatnya pinjol, tentunya banyak menimbulkan kontroversi.
Di satu sisi, pinjol membawa dampak positif berupa peningkatan inklusi keuangan yang menjadi salah satu focus pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disisi lain, pinjol juga membawa dampak negatif bagi konsumen.Naik daunnya pinjol banyak dimanfaatkan oknum untuk menjebak masyarakat yang sedang kepepet terutama bagi kalangan generasi muda yang memiliki pemahaman literasi keuangan yang rendah dan sering menempuh jalan pendek untuk memenuhi lifestyle yang serba instan serta terjebak dalam perilaku FOMO ( Fear Of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once) tanpa memikirkan resiko yang akan diterima kedepannya akibat mengakses pinjol ilegal.
Menurut data OJK yang dilansir dari ojk.go.id, mayoritas nasabah pinjol adalah generasi muda, terutama dari kelompok usia 19-34 tahun. Mereka, generasi Z dan Milenial tercatat sebagai kelompok usia penerima terbesar pinjol. Kasus pinjaman atau hutang semakin marak di kalangan generasi Gen Z dan Milenial. Per September 2024 kredit macet sebesar Rp 1.352.827.036.249 ataau 1,63 % dari seluruh total kredit dan hampir 40 % kredit macet pinjaman online (pinjol) berasal dari generasi Z dan Milenial.
Kesulitan pengembangan bisnis yang relatif mudah, membuat pinjol ilegal yang tidak terdaftar dan berizin di OJK semakin menjamur. Seperti yang kita ketahui pinjol ilegal berjalan tanpa mengikuti regulasi yang ada dengan penerapan bunga mencekik , system penagihan disertai ancaman dan kekerasan yang berujung pada tidak sedikitnya konsumen yang tertekan hingga bunuh diri.
ES (20) yang merupakan mahasiswa di universitas swasta di Lampung mengaku dirinya pernah terjerat pinjol ilegal. ES menceritakan asal mulanya dia terlibat pinjol ilegal lantaran dipengeruhi oleh gaya hidup konsumtif.
“Terjebak trend hingga akhirnya terjerat pinjol ilegal. Awalnya hanya menginginkan suatu barang yang memang sudah saya inginkan, namun uang yang saya miliki tidak mencukupi hingga akhirnya saya memilih cara instan dengan mengklik satu aplikasi keuangan pinjol,” bebernya.
Lanjutnya, karena statusnya sebagai mahasiswa dan belum mempunyai penghasilan dirinya terpaksa melakukan tindakan gali lubang tutup lubang untuk menutupi hutangnya. Rasa tertekan psikis kian menerpa dirinya lantaran hutang yang dia miliki mencapai Rp 30 juta akibat bunga yang tinggi.
“Kalau sudah jatuh tempo, dan saya belum punya uang untuk membayar ya saya akan mengajukan pinjol lagi. Saya gak tau itu aplikasi yang saya klik pinjol legal atau ilegal, karena saya langsung mengklik dari aplikasi yang bertautan. Makin kesini saya makin stress, karena hutang makin banyak dan saya kesulitan untuk membayarnya, bunga yang semakin tinggi dan penagihan debt collector (dc) melalui peretasan data pribadi saya ini semakin membuat saya tertekan,” katanya dengan mata yang berkaca-kaca mengingat kejadian saat itu.
“Sampai akhirnya saya mendapatkan petunjuk dari kawan saya untuk mengadukan hal ini ke OJK. Saya buat laporan ke OJK, dari situ pihak OJK menyarankan saya untuk membayar hutang ke aplikasi yang legal , dan untuk aplikasi pinjol ilegal agar dibiarkan saja karena tidak resmi. Semua hutang di aplikasi pinjol legal sudah selesai, sementara untuk aplikasi pinjol ilegal yang jumlahnya mencapai 5 aplikasi itu tidak saya bayar. Sekarang saya sudah terbebas dan ini membuat saya kapok karena sempat di sebar data, saat ini saya focus untuk menabung untuk hidup yang lebih layak dan terbebas dari masalah finansial,” ucapnya.
Sementara itu Hz (36) yang merupakan pedagang jajanan telur gulung mengaku bahwa dirinya pernah melakukan peminjaman uang di aplikasi pinjol untuk membantu penambahan modal dagangnya.
“Kala itu saya kekurangan modal, saya pinjam tambahan modal melalui aplikasi pinjol legal. Prosesnya cepat dan gak ribet dan yang sudah pasti melalui pinjol legal itu lebih aman dan minim resiko, asal yang penting bayar angusran tepat waktu, supaya data tidak diblaclist,” kata pedagang telur gulung tersebut.
“Uang yang saya pinjam di pinjol tersebut saya belikan gerobak dan perlengkapan dagang,” imbuhnya,
Terpisah, DM (24), menceritakan bahwa dirinya terjebak oleh masalah finansial lantaran kecanduan judi online (judol) yang mengakibatkan dirinya melakukan apasaja untuk memenuhi hasrat judol walaupun itu harus meminjam dana dari aplikasi pinjol.
“ Awalnya hanya iseng main judol, lama-lama jadi candu. Kalau kalah ini saya agak kewalahan, Karena modal habis saya kadang pinjam dari keluarga, tapi kalau gak dapat pinjaman ya saya terpaksa ambil jalan instan melalui aplikasi pinjol.Kan kalau menang saya bayar,” ungkapnya.
Kebiasan buruk yang terus berulang tersebut tidak membuat DM kapok, bahkan meskipun sudah sebar data dan sudah ditagih debt collector DM masih tetap memilih opsi Galbay (gagal bayar) pinjol.
“ Awalnya pusing ditelpon terus, tapi lama-lama saya biarkan gak saya ambil pusing, bahkan saya pilih opsi Galbay, dengan mengahupus data lewat IT, aman kok sampe sekarang,” paparnya.
Dari pemaparan tiga narasumber diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman literasi keuangan sangat penting bagi masyarakat terutama gen Z. Jika masyarakat memiliki pengetahuan literasi keuangan yang sangat rendah, maka akan terjerumus kedalam lembaga keuangan ilegal yang membahayakan dan masyarakat bisa tertipu serta menimbulkan berbagai permasalahan dibidang keuangan. Literasi keuangan dapat membantu melindungi konsumen agar tidak menjadi korban penipuan keuangan, jenis kejahatan yang semakin umum terjadi.
Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, literasi keuangan memiliki tujuan jangka Panjang bagi masyarakat yaitu meningkatkan literasi keuangan yang sebelumnya less literate atau not literate menjadi well literate serta meningkatkan jumlah produk jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mendorong peningkatan literasi keuangan bagi masyarakat dengan melaksanakan edukasi melalui berbagai macam program beberapa diantaranya program seperti Sarana Informasi Mobil Literasi dan Edukasi Keuangan (SIMOLEK), Program Satu Rekening Satu Pelajar (KEJAR),dan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN).
Humas OJK Lampung, Dwi Krisno Yudi menyampaikan pentingnya pemahaman lietrasi keuangan agar masyarakat tidak terjebak ke dalam jeratan pinjol ilegal, diperlukan perencanaan keuangan yang sehat. Orang yang memiliki gaya hidup yang teratur akan lebih aman dari jeratan pinjol, terutama pinjol ilegal. Gaya hidup hemat dan perencanaan keuangan yang teratur dinilai dapat menghindarkan orang untuk berhutang.
“ Dengan pemahaman literasi keuangan yang baik, masyarakat akan mengetahui resiko dari pinjaman apabila tidak mempertimbangkan kemampuan membayar, atau salah dalam mengelola uang,” katanya.
Menurutnya, dengan peningkatan terhadap literasi keuangan sangat diperlukan untuk menghindari resiko-resiko kerugian yang timbul pada saat menggunakan produk jasa keuangan. Dengan pemahaman/kemampuan literasi keuangan yang tinggi, seseoarang dapat memilih produk dan layanan jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhannya.
“Memiliki perencanaan yang baik terhindar dari resiko instrument yang ilegal, serta dapat memaksimalkan keuntungan atau benefit dari produk jasa keuangan itu sendiri.,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Dwi juga menyampaikan untuk memberikan pemahaman literasi keuangan bagi Gen Z dan Milenial OJK telah melakuan berbagai langkah diantaranya dengan melakukan kegiatan edukasi baik secara langsung (kunjungan/tatap muka/peretemuan langsung) ke sekolah, universitas, pesantren, instansi, dan lainnya.
“Selain itu OJK juga melakukan sosialisasi melalui media, seperti media cetak, online, dan elektronik maupun media sosial IG, FB, Tiktok dan lainnya. Kami juga mengajak masyarakat untuk secara aktif belajar mengenai keuangan melalui LMSKU.ojk.go.id (Learning Manajemen System Keuangan),” ungkapnya.
Ia juga memberikan himbaun kepada generasi muda yakni Gen Z yang masih berada dibangku sekolah atau perkuliahan, sebaiknya hindari aktifitas meminjam uang kecuali bagi Gen Z yang memiliki usaha dan benar-benar memerlukan modal dan harus melakukan pinjaman. Sementara untuk Gen Z dan milenial yang sudah bekerja dan memerlukan uang untuk keperluan modal kerja atau lainnya, dalam melakukan pinjaman harus memperhatikan legalitas lembaga/etentitas yang memberikan pinjaman apakah sudah memiliki izin dari Otoritas yang berwenang serta melakukan pinjaman sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan membayar sehingga terhindar dari risiko gagal bayar atau menunggak.
“Generasi muda ini, saat melakukan pinjaman harus paham betul isi dari perjanjian kredit baik itu bunga, denda, tenor, serta selalu ingat 2L (Legal dan Logis) pada saat memilih aplikasi pinjaman online yang akan digunakan,” imbaunya. (Din/LN)